Review:
Sebagai salah satu serial animasi terpopuler di saluran anak Nickelodeon, Avatar: The Last Airbender dikenal sebagai sebuah serial yang cukup mampu untuk menghibur tiap penontonnya dengan kisah petualangan dan persahabatan karakter-karakternya yang cukup seru serta seringkali diselingi dengan banyak dialog-dialog yang jenaka. Tahun 2007, MTV Films dan Nickelodeon Movies, yang merupakan anak perusahaan Paramount Pictures, memutuskan untuk mengadaptasi serial animasi tersebut ke layar lebar dalam bentuk live-action dengan M Night Shyamalan sebagai arsiteknya.
Keputusan yang mungkin akan sangat mereka sesali di kemudian hari. Berbeda dengan film-film Shyamalan sebelumnya, The Last Airbender sepertinya ingin menjadi pembuktian Shyamalan bahwa dirinya mampu menyutradarai genre lain di luar genre thriller dan horror serta pembuktian bahwa dirinya adalah seorang sutradara yang mampu menggunakan teknologi visual effects dengan memanfaatkannya di sepanjang cerita. Ironisnya, Shyamalan malah melupakan kualitas sisi naskah cerita, sebuah kemampuan yang dahulu dianggap merupakan kualitas terbaik dari film-film Shyamalan.
The Last Airbender sendiri mengikuti perjalanan Aang (Noah Ringer), seorang biksu yang berasal dari Air Tribe dan aslinya berusia 112 tahun, namun karena menghabiskan 100 tahun terakhir terjebak dalam dinginnya kebekuan gunung es, ia masih memiliki penampilan seperti seorang anak berusia 12 tahun. Aang akhirnya terbebas ketika dua bersaudara dari Southern Water Tribe, Katara (Nicola Peltz) dan Sokka (Jackson Rathborne), secara tidak sengaja melepaskannya dari kebekuan.
Terbebasnya Aang ternyata menarik perhatian Prince Zuko (Dev Patel), pangeran dari Fire Nation yang diasingkan oleh sang ayah dari kerajaannya hingga ia menemukan seorang Avatar — seorang manusia yang mampu menggunakan empat elemen (udara, air, tanah, udara) dan dianggap merupakan orang yang dapat menghapus dominasi Fire Nation dari muka Bumi. Prince Zuko kemudian menahan Aang dan ternyata, bersama pamannya Iron (Shaun Toub), mampu membuktikan bahwa Aang adalah seorang Avatar yang selama ini ia cari-cari.
Beruntung, Aang kemudian berhasil melarikan diri. Disusul oleh Katara Dan Sokka, Aang kemudian memulai perjalanannya menjadi seorang Avatar dan menyelamatkan orang-orang dari suku lain yang selama ini telah ditindas oleh pasukan Fire Nation. Di sisi lain, keberadaan Aang sebagai seorang Avatar ternyata juga telah menarik perhatian Commander Zhao (Aasif Mandvi), komandan dari Fire Nation yang di dalam cerita juga menjadi musuh Prince Zuko dan mencoba menghalanginya untuk mendapatkan Avatar. Jadilah Aang kini dikejar-kejar dua pihak yang menginginkan keberadaannya untuk dihilangkan dari muka Bumi.
Masalah utama dari hasil adaptasi layar lebar The Last Airbender ini memang terletak pada sisi naskah ceritanya yang sangat lemah: plot cerita yang memiliki banyak sudut pandang namun kekurangan penggalian cerita yang lebih dalam, dialog-dialog yang terdengar dangkal dan konyol serta tidak adanya jalinan emosi yang berlangsung di sepanjang cerita. Hal ini kemudian diperparah dengan jajaran pemeran film ini yang sama sekali tidak mampu terhubung dengan jalan ceritanya dan gagal menunjukkan emosi setiap karakter yang mereka mainkan.
Shyamalan sendiri sempat menuai beberapa kontroversi dan dianggap sebagai seorang yang racist ketika dirinya memutuskan untuk menggunakan jajaran pemeran berkulit putih untuk mengisi peran yang pada kisah aslinya merupakan karakter yang memiliki darah Asia. Hal ini sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan bila Shyamalan mampu mengubah keseluruhan latar belakang cerita dengan juga mengubah seluruh karakter pendukung juga menjadi berkulit putih. Kenyataannya, Shyamalan hanya mengubah beberapa karakter utama menjadi berkulit putih dengan karakter-kerakter di sekitar mereka tetap diisi oleh para pemeran yang berdarah Asia. Tentu saja pada beberapa adegan hal ini terlihat kontras, belum lagi nama-nama karakter yang diisi oleh pemeran berkulit putih tersebut sepertinya memang terdengar seperti nama Asia.
Sebagai film yang dikabarkan menghabiskan bujet sebesar US$150 juta, The Last Airbender memang mampu menunjukkan kapabilitasnya sebagai sebuah film yang berteknologi tinggi, walaupun bukan sesuatu yang sangat mengagumkan dan revolusioner pula. Khususnya pada 15 menit terakhir, pada adegan pertarungan antara Northern Water Tribe dengan pasukan Fire Nation, kekuatan CGI film ini benar-benar dimanfaatkan dengan sangat baik.
Untuk pemanfaatan teknologi 3D, The Last Airbender menjadi film kesekian yang menambah panjang deretan film Hollywood yang hanya menggunakan 3D sebagai gimmick belaka tanpa memberikan pengaruh yang nyata pada pengalaman menonton para penontonnya. The Last Airbender kemudian diakhiri dengan sebuah ending yang sepertinya mengisyaratkan bahwa film ini akan memiliki kelanjutan kisah cerita. Melihat apa yang dihasilkan M Night Shyamalan pada film ini, entah bagaimanakah nasib kelanjutan cerita serial ini.
The Last Airbender tidak hanya tampil sebagai film yang kekurangan elemen emosional di dalam jalan ceritanya, namun juga berjalan dengan berbelit-belit dan cenderung membosankan. Penggunaan teknologi CGI, khususnya pada 15 menit terakhir film ini, harus diakui memang cukup berhasil. Namun secara keseluruhan, hal tersebut sama sekali tidak mampu menyelamatkan The Last Airbender — dan karir M Night Shyamalan — menjadi sebuah film datar yang akan diingat sebagai 103 menit yang dipenuhi dengan rasa kebosanan total.
Details :
Released : 1 July 2010 (USA)
Genre : Action | Adventure |Fantasy
File Format : mp4
Video Encode : AVC (H.264)
Audio Encode : AAC (Stereo)
Resolusi : 360p
Durasi : 1 Jam - 43 Menit - 13 Detik
Ukuran : 288 mb